Lampung Selatan, berita-public.com — Aspal hitam membentang, rabat beton menjalar, seolah menyampaikan pesan inilah bukti pembangunan! Tapi tunggu dulu di balik kilap permukaan itu, retakan demi retakan mulai menganga. Lapisan pengerasan mengelupas, permukaan bergelombang tak karuan, Jalan-jalan yang mulai berlubang. (Jumat, 20/06/25).
Beginikah wujud proyek bermiliar-miliar rupiah? Dana publik digelontorkan tak sedikit, tapi hasilnya justru membuat publik mengelus dada. Ini bukan sekadar jalan rusak ini adalah simbol kegagalan, tanda tanya besar atas kualitas, integritas, dan transparansi. Jalan-jalan itu kini bukan lagi bukti kemajuan, melainkan potret buram dari pembangunan yang diduga sarat kepentingan.
Alih-alih menjadi penggerak ekonomi dan penghubung mobilitas warga, tiga proyek jalan yang menelan dana miliaran justru menjadi momok kegagalan. Lebih dari itu, proyek ini diduga menyimpan aroma busuk korupsi yang tak sedap dihirup publik.
Tiga proyek itu adalah Peningkatan Ruas Jalan Makdum Sakti 2, Desa Pemanggilan – Rp 1,2 miliar, Peningkatan Ruas Jalan Wonosari (SMPN 5 Natar), Desa Candimas – Rp 1 miliar, Peningkatan Ruas Jalan Melati 1, Desa Hajimena – Rp 600 juta.
Nilai yang tak kecil untuk sebuah infrastruktur yang baru rampung namun sudah dikeluhkan. Hasil investigasi dan peninjauan lapangan oleh Tim Investigasi dan Koalisi Jurnalis Aktivis (Kojak) Lampung menyuguhkan potret memprihatinkan. Jalan-jalan tersebut, yang baru saja rampung dalam hitungan bulan, kini sudah tampak seperti peninggalan bertahun-tahun.
Aspal mengelupas,jalan berlubang, permukaan bergelombang, ketebalan tak seragam, hingga pinggiran yang ambrol jadi pemandangan lazim. Tak sedikit warga yang heran, bagaimana mungkin proyek dengan dana sebesar itu hasilnya seperti tambal sulam dadakan.
Namun, kerusakan fisik hanyalah permukaan dari lubang yang lebih dalam. Informasi yang dihimpun dari sejumlah narasumber menyebutkan dugaan adanya ‘setoran wajib’ sebesar 18–20 persen dari total pagu anggaran proyek yang harus disetorkan oleh kontraktor kepada oknum di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Lampung Selatan.
Praktik itu seperti rahasia umum jika ingin proyek cair, maka uang pelicin harus disiapkan. Sebuah sistem stor yang menjamur di balik proses pengadaan. Hal ini jelas menabrak Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa dan juga melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Penunjukan langsung hingga proses lelang pun diduga kuat telah dikondisikan. Dari rekanan yang “sudah diatur”, sampai pengawas proyek yang lebih mirip penjaga papan nama ketimbang penjaga kualitas.
Lebih parahnya, diduga proses PHO atau serah terima pekerjaan disebut-sebut hanya sekadar formalitas. PPK, PPTK, dan konsultan pengawas dianggap hanya bertugas menandatangani berita acara tanpa benar-benar menelusuri apakah jalan yang dibangun sudah sesuai spesifikasi atau tidak.
“Ada dugaan kuat praktik ini sudah sistemik. Mulai dari kontraktor, PPTK, hingga pejabat dinas, semuanya seperti menutup mata. Jalan cepat hancur,” ujar salah satu narasumber dengan nada getir.
Di balik jalan yang retak, ada sistem yang bobrok. Di balik aspal yang mengelupas, ada uang rakyat yang menguap. Pertanyaannya: sampai kapan praktik seperti ini terus dibiarkan?.
Sementara warga harus rela melintasi jalan-jalan setengah jadi, mereka yang bermain di belakang meja justru bisa tertawa lepas. Ironi yang terlalu pahit untuk ditelan, namun terlalu nyata untuk diabaikan.
Sampai berita ini diterbitkan belum ada tanggapan apapun dari dinas terkait. (Tim/Redaksi)