Way Kanan, berita-public.com – Di pelosok Kecamatan Way Tuba, Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung, bentangan Jalan Bukit Gemuruh sepanjang sekitar 11 hingga 12 kilometer seperti mengisahkan luka panjang yang tak kunjung sembuh.
Jalan kabupaten ini menjadi urat nadi yang menghubungkan Kampung Way Pisang (Simpang Perikanan) hingga Kampung Bukit Gemuruh, juga mengalirkan denyut kehidupan menuju Jalan Lintas Sumatera. Namun, yang tersisa kini hanyalah bebatuan tajam, lubang menganga, dan kepulan debu yang mengepung rumah-rumah.
Alih-alih menjadi jalan penghubung peradaban, jalur ini berubah menjadi lorong penderitaan. Saat kemarau, debu mengisi paru-paru warga. Saat hujan, lumpur menggenangi harapan yang nyaris karam.
Jalan yang rusak itu membentang sepanjang kurang lebih 11 kilometer, dari Simpang Perikanan (Way Pisang) hingga Kampung Bukit Gemuruh. Kondisinya kini sebagian besar berupa kerikil lepas, lubang dalam akibat erosi dan tidak terawat.
“Jalan ini makin ke sini makin parah. Lubang di mana-mana, batu berserakan, belum lagi kepulan debu kalau panas, terutama saat dilintasi kendaraan besar seperti truk,” keluh seorang warga yang enggan disebut namanya.
Warga menyebut, kerusakan telah berlangsung lebih dari satu dekade, dan lima tahun terakhir menjadi masa paling menyiksa.
Antara Debu dan Genangan: Beban Harian yang Tak Pernah Usai
Pemerintah sempat menambal jalan dengan penimbunan seadanya. Namun upaya itu tak ubahnya tambal sulam luka lama gagal menyembuhkan, hanya memperpanjang rasa nyeri. Debu tetap mengepul. Lumpur tetap menyergap. Warga tetap terjebak dalam dilema: tersiksa saat panas, terkurung saat hujan.
“Kurang lebih lima tahun hingga saat ini kami serba salah. Ketika hujan turun, jalan becek dan penuh genangan. Tapi di sisi lain, hujan mengurangi debu yang sangat menyiksa. Saat kemarau, kami seperti mandi debu setiap hari, terutama kami yang tinggal di pinggir jalan. Dari pagi sampai malam, tidur pun bersama debu,” ujar warga yang sama.
Tak hanya tubuh, rumah dan usaha warga pun ikut terdampak. Debu menyelinap ke setiap celah, dan batu-batu kecil menjadi peluru tak kasat mata.
“Etalase pecah, pintu toko pecah gara-gara batu ‘meletik’ dari mobil truk yang melintas. Tak disengaja, tapi kami yang menanggung kerusakannya,” tambahnya.
Warga menuding truk-truk tambang sebagai biang keladi kerusakan. Tahun 2023, puluhan ibu rumah tangga bahkan menggelar aksi bakar ban di jalan sebagai bentuk protes. Tapi jeritan mereka tak pernah sampai ke telinga penguasa.
“Kami pernah berdemo membakar ban agar suara kami didengar. Tapi tak ada perubahan. Justru masalahnya malah semakin besar,” tambahnya.
Ketika Jalan Rusak Merampas Masa Depan
Kerusakan ini bukan hanya menghambat lalu lintas, tapi juga mencederai masa depan. Pendidikan, yang semestinya menjadi jalan keluar dari kemiskinan, kini justru terhambat jalan berlubang.
“Aku kalau keluar tiba-tiba berubah jadi monyet putih, mandi debu,” celetuk AN, seorang warga, setengah bercanda.
“Sangat menjengkelkan. Pastine gawe males nggo mangkat sekolah (Yang pasti bikin malas berangkat sekolah),” keluh KS, seorang siswi Madrasah Aliyah.
“Berangkat sekolah siang panas-panas, jalan berdebu, sampai sekolah jadi kumel,” kata NN, pelajar lainnya.
Tak sedikit yang jatuh saat melintas, bahkan guru pun tak luput dari risiko.
“Sering terlambat karena jalan seperti itu. Sangat membahayakan pengendara. Kemarin ada yang jatuh gara-gara batu besar masuk ke sela-sela ban. Motornya langsung oleng dan jatuh. Gak parah, tapi kasihan,” ujar SA, seorang guru.
“Mohon diperbaiki jalan ini. Setiap tahun rusak dan berlubang, membahayakan pengendara. Keselamatan pengguna jalan harus diprioritaskan,” tegasnya.
Luka Jalan yang Mengoyak Nafkah dan Kesehatan
Tak hanya siswa dan guru, para petani, ibu hamil, pedagang kecil, hingga tenaga kesehatan turut menanggung derita.
“Saya angkut hasil panen pakai keranjang. Harus ekstra waspada lewat jalan rusak,” kata K, petani karet.
WL, seorang bidan, mengenang masa awal tugasnya di desa itu dengan getir.
“Awal kerja di sini ngeluh terus, apalagi kalau banyak mobil. Tapi lama-lama jadi terbiasa. Mau ngeluh gimana pun tetap nggak ada perubahan,” ujarnya.
AH, pegawai honorer, dan R, penjual makanan, juga tak bisa menghindari dampak jalan rusak.
“Berangkat kerja terhambat karena harus lewati jalan berlubang dan berbatu. Debunya bikin risih,” kata AH.
“Sudah pasti terganggu debu. Hasil dilap terus pakai lap basah. Semua harus tertutup. Semoga yang berwenang sadar dan memperbaiki jalan ini,” ujar R.
Bahkan anak-anak pun menjadi korban debu yang tak kunjung reda.
“Debu bikin penyakit anakku kambuh. Baru naik motor sebentar aja langsung batuk-batuk,” ungkap seorang ibu rumah tangga.
A, ibu hamil yang tinggal di sekitar jalan, menuturkan kegelisahannya tiap kali bepergian.
“Kadang pelan pun masih bisa kena lubang yang nggak kelihatan. Sampai berdiri di motor saking was-wasnya. Walau siang bolong juga tetap aja was-was,” keluhnya.
Tanggapan Pemerintah: Proposal yang Tenggelam dalam Diam
Kepala Kampung Way Pisang dan Bandar Sari membenarkan seluruh keluhan warganya. Berkali-kali mereka mengajukan proposal, namun berakhir tanpa kepastian.
“Ya benar jalan Kampung Bandar Sari jadi konflik di masyarakat. Sudah sering kami usulkan dan sudah kami buatkan proposal juga, tapi sampai dengan sekarang belum ada tanda-tanda mau dibangun,” ujar Tarwani, Kepala Kampung Bandar Sari.
Kepala Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Way Kanan, Septama Putra, menyampaikan bahwa Pemerintah Kabupaten Way Kanan telah berupaya melakukan perbaikan secara bertahap pada ruas jalan tersebut. Ia mengakui, salah satu tantangan utama dalam menjaga kualitas jalan adalah tingginya aktivitas kendaraan berat, khususnya truk pengangkut batu hasil tambang.
“Perlu dipahami bersama bahwa salah satu faktor dominan yang menyebabkan kerusakan berulang pada ruas tersebut adalah aktivitas truk tambang dengan muatan berlebih,” kata Septama.
Ia merinci bahwa pada tahun 2019, Pemkab Way Kanan telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp4 miliar melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk memperbaiki sebagian ruas dengan metode rigid beton. Selanjutnya, pada tahun 2023, perbaikan kembali dilakukan dengan skema tambal-sulam (patching) menggunakan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp1 miliar, menyesuaikan dengan kemampuan fiskal daerah.
“Artinya, pemerintah tidak tinggal diam. Perbaikan telah beberapa kali dilakukan sesuai kapasitas anggaran yang tersedia. Bahkan, pada tahun 2026 mendatang, perbaikan lanjutan telah direncanakan dan saat ini masih dalam tahap penyusunan dokumen perencanaan teknis,” ujarnya.
Lebih lanjut, Septama menegaskan bahwa perbaikan infrastruktur jalan akan sia-sia apabila tidak diikuti dengan pengendalian terhadap kendaraan bertonase besar yang melintasi ruas tersebut.
“Apabila aktivitas angkutan tambang tidak dikendalikan, maka potensi kerusakan akan terus terjadi. Untuk itu, kami berencana melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha tambang agar lebih memperhatikan volume muatan kendaraan,” jelasnya.
Namun demikian, ia menggarisbawahi bahwa intervensi lebih lanjut seperti pengaturan tonase atau kontribusi perusahaan melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR) memerlukan keterlibatan lintas sektor.
“Dalam hal ini, kami hanya bisa mendorong upaya persuasif. Untuk pengaturan yang lebih teknis dan menyangkut aspek hukum atau kontribusi CSR, tentu diperlukan sinergi bersama dinas teknis lainnya yang memiliki kewenangan lebih luas terhadap aktivitas pertambangan dan transportasi,” pungkasnya.
Perspektif Pakar: Dari Ekonomi Tersendat hingga Ancaman Kesehatan
Pengamat Ekonomi Lampung, Ilwaldi Perkasa, S.E, menilai jalan rusak sebagai hambatan serius bagi pertumbuhan desa.
“Akses distribusi hasil pertanian jadi terhambat, menyebabkan harga jual turun. Ongkos transportasi meningkat, minat investor menurun. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi desa melambat dan kesejahteraan warga pun terhambat,” jelasnya.
“Kerusakan jalan juga berpotensi lebih cepat merusak kendaraan. Ini beban tambahan bagi petani,” tambahnya.
Dampak kesehatan pun tak bisa diabaikan. Kabid Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, Yulianto, S.K.M, M.Kes, menyebut paparan debu sebagai ancaman serius.
“Paparan debu dalam jangka panjang sangat berisiko bagi anak-anak dan ibu hamil. Debu jalanan mengandung partikel halus (PM10 dan PM2.5), karbon, logam berat, serta mikroorganisme patogen,” katanya.
“Risiko bagi anak-anak antara lain ISPA, asma, penurunan fungsi paru, hingga iritasi mata dan kulit. Sementara pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko preeklampsia, tekanan darah tinggi, hingga bayi lahir prematur,” jelasnya.
Ia menambahkan, guncangan akibat jalan rusak juga bisa memengaruhi tumbuh kembang janin.
“Kondisi jalan yang buruk dan guncangan fisik memang berpotensi memperburuk faktor-faktor penyebab stunting, terutama dalam konteks pelayanan kesehatan ibu dan janin yang tidak optimal,” tutup Yulianto.
Titik Balik atau Sekadar Janji?
Anggota DPRD Lampung Sahdana, S.Pd, akhirnya buka suara. Ia mendorong bupati untuk memperhatikan keluhan warga.
“Intinya saya memohon kepada Bupati Jalan Bukit Gemuruh–Way Pisang, Kecamatan Way Tuba itu untuk diperhatikan. Jangan bertahun-tahun dibiarkan rusak,” ucapnya.
Romli Suadi, Ketua Umum DPP PEMATANK, menyebut ini sebagai pekerjaan rumah penting bagi bupati baru.
“Kami mengucapkan selamat atas dilantiknya Ayu Asalasiyah sebagai Bupati Way Kanan Periode 2025–2030. Semoga dengan definitifnya beliau bisa menampung dan merealisasikan keluhan masyarakat Way Kanan, khususnya warga Way Tuba,” ujarnya.
Harapan Terakhir di Ujung Jalan Berdebu
Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal menegaskan pentingnya penyelarasan pembangunan daerah.
Kami berharap penyelenggaraan pemerintahan di sana bisa berjalan lancar. RPJMD Kabupaten Way Kanan harus selaras dengan RPJMD Provinsi dan RPJMN,” kata Gubernur.
Ayu Asalasiyah kini resmi memegang amanah sebagai Bupati Way Kanan. Di pundaknya, warga menggantungkan harapan: agar jalan yang lama ditinggalkan, akhirnya mendapat perhatian yang layak. Agar debu dan lumpur tak lagi menjadi pemandangan abadi, dan agar harapan yang selama ini membeku, akhirnya mencair dalam bentuk tindakan nyata. (Redaksi)