BANDAR LAMPUNGDAERAH

Konfrensi Pers Diduga Jadi Sarana Bela Diri Sepihak dari KIM

×

Konfrensi Pers Diduga Jadi Sarana Bela Diri Sepihak dari KIM

Sebarkan artikel ini

Bandar Lampung, berita-public.com – Setelah dua pekan menjadi sorotan atas dugaan penahanan ijazah karyawan dan peredaran produk tanpa izin edar serta label halal, manajemen Karang Indah Mall (KIM) akhirnya menggelar konferensi pers di Jalan Radin Intan, Bandar Lampung, pada Selasa, 8 Juli 2025. Namun konferensi pers yang dinanti sebagai momen klarifikasi menyeluruh itu justru melahirkan pertanyaan baru.

Alih-alih menjawab inti persoalan yang sedang bergulir di ruang publik, manajemen KIM justru menyampaikan penjelasan yang cenderung menjauh dari substansi dan terkesan sebagai upaya pembelaan sepihak.

Tim legal KIM membuka pernyataan dengan menyebut bahwa “kegaduhan ini” bermula dari pengunduran diri dua karyawan yang diduga terlibat dalam perbuatan asusila di area kantor.

Dugaan tersebut lalu dijadikan sebagai titik pangkal dari kemunculan laporan-laporan ke Dinas Tenaga Kerja, Komnas HAM, hingga ke media dan lembaga swadaya masyarakat. Narasi ini jelas menjadi upaya pengalihan fokus dari isu-isu yang sebetulnya lebih krusial dan berdampak luas terhadap publik.

Padahal, tudingan utama terhadap KIM selama ini bukan terletak pada dugaan asusila dua individu, melainkan menyangkut dua hal penting: hak normatif tenaga kerja dan kepatuhan terhadap regulasi peredaran produk konsumsi. Tudingan penahanan ijazah, misalnya, telah dikonfirmasi sampai ke Dinas Tenaga Kerja.

Beberapa karyawan menyebut ijazah mereka tidak dikembalikan meski sudah mengundurkan diri, bahkan diduga dimintai sejumlah uang. Dalam pernyataannya, manajemen membantah permintaan uang, namun tetap mengaitkan pengembalian ijazah dengan proses audit internal.

Artinya, hak karyawan atas dokumen pribadinya masih dikondisikan pada faktor administratif yang tidak transparan. Kalimat seperti “setelah audit selesai, baru administrasi diselesaikan” memperkuat kesan bahwa ijazah dijadikan alat tawar.

Lebih mengejutkan lagi, dalam konferensi pers tersebut, manajemen tidak menyinggung sama sekali persoalan serius lain yang telah terungkap dalam rapat dengar pendapat Komisi IV DPRD Kota Bandar Lampung pada 16 Juni 2025.

Dalam rapat itu, Kepala BPOM Bandar Lampung menyatakan bahwa terdapat belasan produk impor yang beredar di KIM tanpa izin edar resmi. Bahkan, produk-produk itu sempat diamankan oleh BPOM karena dianggap melanggar ketentuan.

Keterangan dari pihak manajemen KIM dalam forum DPRD hanya sebatas menyebut bahwa produk berasal dari supplier dan sedang dalam proses pengajuan sertifikasi, baik BPOM maupun halal. Namun saat diminta menjelaskan lebih jauh, perwakilan KIM justru meninggalkan ruang rapat tanpa memberikan keterangan kepada wartawan. Maka wajar bila publik menilai bahwa manajemen tidak siap menjawab pertanyaan terkait legalitas produk yang mereka jual.

Situasi ini diperburuk oleh cara konferensi pers digelar: satu arah, tanpa tanya jawab, dan dengan fokus yang tidak menjawab kekhawatiran publik. Penyebutan kasus qasusila sebagai akar dari segala persoalan justru mempersempit konteks dan memunculkan kesan pengalihan isu.

Publik seolah diajak melihat bahwa semua masalah yang terjadi hanyalah buntut dari konflik dengan mantan karyawan, bukan karena kelemahan sistemik di tubuh manajemen. Narasi semacam ini tidak hanya gagal mengurai masalah, tapi juga melemahkan upaya klarifikasi itu sendiri.

Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah dugaan perbuatan asusila memang relevan dikaitkan dengan penahanan ijazah? Dan lebih jauh lagi, apakah benar dua mantan karyawan tersebut yang menyebabkan BPOM menyita produk tanpa izin edar? Jika tidak, maka apa urgensinya menjadikan mereka sebagai pusat penjelasan?

Dalam konteks komunikasi krisis, klarifikasi yang baik adalah yang jujur, terbuka, dan menjawab persoalan. Namun yang disampaikan KIM sejauh ini cenderung menunjukkan sebaliknya. Alih-alih membuka ruang dialog dan transparansi, mereka justru menutup rapat pintu diskusi dan hanya menyodorkan narasi versi sendiri.

Dengan demikian, konferensi pers KIM pada akhirnya tidak menyelesaikan persoalan apa pun. Justru publik semakin kehilangan kepercayaan, karena klarifikasi yang diharapkan berubah menjadi panggung pembelaan sepihak.

Jurus bela diri yang dilancarkan KIM ini bukan hanya tidak menyentuh substansi, tapi juga gagal membangun akuntabilitas. Dan dalam dunia usaha yang kian terbuka dan kritis, pembelaan tanpa kejujuran hanya akan menjadi bumerang bagi reputasi perusahaan itu sendiri. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini