Lampung, berita-public.com – Rencana penertiban tahap dua atas lahan yang dikenal sebagai wilayah “Kepala Burung” makin memantik polemik baru.
Di balik operasi yang diklaim sebagai penataan aset daerah eks-PTP X (kini PTPN 7) itu, muncul perlawanan dari para pihak yang menyebut hak garap karyawan tak pernah dilepas secara sah dan kini dipinggirkan oleh klaim sepihak pemerintah.
Pemprov Lampung menyatakan tahap lanjutan penertiban akan menyasar sekitar 30 bangunan di lahan seluas kurang lebih 3 hektare.
Target pembongkaran dijadwalkan berlangsung akhir Oktober hingga awal November 2025, setelah sebelumnya 43 bangunan dirubuhkan pada tahap pertama 12 Februari lalu.
Pemerintah menyebut langkah tersebut bagian dari pengamanan aset bersertifikat dan melibatkan Satpol PP, BPKAD, Diskominfotik, serta aparat TNI/Polri.
Namun di lapangan, suara penolakan justru datang dari orang-orang yang merasa menjadi pemegang hak agraria pertama.
Subiyakto (63), warga Way Dadi yang mengaku sebagai kuasa karyawan eks-PTP X di Sabah Balau, menilai penertiban ini mengabaikan sejarah tanah garapan yang sudah berlangsung puluhan tahun.
“Kalau dipertemukan dengan 12 orang itu, saya bongkar semua,” tegasnya kepada awak media pada Minggu Sore (19/10/2025).
Ia menyebut sengkarut lahan bermula dari hak garap karyawan yang tak pernah dicabut resmi sejak 1972. Menurutnya, pemutusan hak garap hanyalah asumsi yang tidak pernah dibuktikan lewat dokumen pelepasan oleh perusahaan.
“Hak karyawan adalah penggarap. Ada suratnya. Itu belum pernah dilepaskan oleh PTP X. Belum pernah. Ada bukti kongkrit-nya,” ujarnya.
Subiyakto menduga kekacauan ini diaktori oleh pihak-pihak yang menyembunyikan informasi dan menggiring opini agar lahan seolah menjadi hak penuh pemerintah.
Ia menyebut keberadaan dua klaim atas satu petak tanah, yakni hak pakai atas nama Pemprov dan hak garap atas nama karyawan.
“Satu tempat dua kepemilikan. Satu hak garap, satu hak pakai. Pemprov mengklaim ada tiga sertifikat. Kami tahu sertifikat itu, tapi bukan kapasitas saya yang menjelaskan, nanti hukum yang akan membuka,” katanya.
Ia mengaku siap membuka tabir bila difasilitasi duduk bareng dengan 12 orang yang dianggap mengetahui dan terlibat langsung, termasuk pejabat aktif di lingkaran aset tersebut. Ia menuding ada praktik jual beli liar dan mafia tanah yang tak tersentuh.
“Saya punya bukti kuat jika saya berhasil dipertemukan dengan 12 orang ini. Saya akan buka semuanya untuk penyelesaian lahan Sabah Balau,” ujar dia sambil menunjukkan daftar nama yang enggan dipublikasikan. Namun dia memberi gambaran bahwa satu diantara pejabat tinggi Pemprov Lampung.
Subiyakto menegaskan dirinya tak mengincar kompensasi, melainkan ingin kejelasan hukum agraria ditegakkan. Ia bahkan mengaku pernah membawa perkara ini sampai ke Kementerian ATR/BPN karena tak percaya mekanisme lokal mampu menembus benteng kepentingan.
“Karena ini harus dibuka, saya sudah ke Menteri. Karena kalau di sini kita sebagai rakyat kecil, pakai cara apa pun tidak tembus. Karena di sini, pagarnya terlalu kuat,” tegasnya.
Subiyakto optimis semuanya akan terungkap dengan dasar bukti-bukti valid termasuk dokumen-dokumen penting yang diklaim tidak terbantahkan secara hukum.
Sikap serupa disuarakan Tularup (52), warga Sabah Balau yang merupakan anak dari penggarap PHL PTP X. Ia menegaskan bahwa hak garap pertama diberikan kepada 23 karyawan sejak 1976 dengan total luas 32 hektare.
Dari luas itu, sekitar 6,3 hektare pernah dialihkan ke Pemprov untuk kebun binatang dan hortikultura pada 1993, namun hak pakai tersebut dicabut kembali pada 1997 karena selama satu tahun lahan tak dikelola.
Menurut Tularup, keluarganya sempat menggarap sekitar 6 hektare secara sah sebelum muncul Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan kepala desa pada tahun 2000. SKT inilah yang disebut menjadi biang kerok carut-marut hak garap.
“Setelah tahun 2000, pak Kades saat itu mengeluarkan SKT yang saat ini jadi carut-marut dan saat itu dicabut kades sendiri,” ujarnya. Namun meski disebut telah dicabut, SKT justru berkembang dan dijadikan dasar jual-beli tanah oleh pihak luar tanpa sepengetahuan para penggarap asli.
“Setelah dicabut tau-tau SKT itu mengembang biak… lambat laun yang tadinya katanya mau diambil pemerintah tapi yang datang warga, satu persatu, hingga seperti sekarang ini,” katanya.
Akibatnya, lahan garapan keluarganya yang semula hektaran menyusut hanya menjadi 400 meter persegi sebelum akhirnya ikut tergusur juga.
Tularup menegaskan mayoritas bangunan yang kini jadi objek pembongkaran adalah korban hasil jual-beli berdasarkan SKT yang diduga ilegal dan tidak pernah direstui PTP.
Ia juga menyampaikan alasan tetap keukeh mempertahankan lahan garapan orang tuanya.
“Saya bertahan karena bapak saya statusnya punya hak garapan dari PTP. Dan lahan tersebut belum pernah dilepaskan oleh PTP sampai sekarang. Datanya ada. Tapi kenapa bisa jatuh menjadi hak orang lain,” ujarnya.
Ia mengaku bersama para pemilik hak garap lain sudah mengadu ke Kementerian ATR/BPN dan bersurat ke Gubernur melalui BPKAD Lampung berdasarkan rekomendasi Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Namun hingga kini tak ada respons.
Baik Subiyakto maupun Tularup sepakat, penertiban yang berjalan tanpa mengurai akar agraria hanya akan menambah daftar konflik tanah di Lampung. Mereka mendesak proses terbuka, audit klaim hak pakai pemerintah, serta pengujian sertifikat yang muncul di atas tanah garapan karyawan.
Bagi mereka, kalau persoalan pokok hak garap tidak dibuka, penertiban bukan solusi justru menyisakan bara yang bisa meledak lebih besar nanti. (Red)