Berita-public.com – Di Lampung, banyak wartawan yang mengeluhkan sulitnya mengakses pejabat publik. Seharusnya, tugas jurnalis adalah menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang kepada publik, namun kenyataannya, para wartawan sering kali dihadapkan pada situasi yang bisa dibilang… “melek sebelah”. Seolah-olah ada pintu informasi yang hanya dibuka sedikit, dengan satu mata pejabat terbuka, sementara mata yang lain tertutup rapat.
Sering kali, wartawan harus berjuang ekstra keras untuk mendapatkan konfirmasi. Isu penting muncul, wartawan pun berusaha mendatangi kantor, menelepon, bahkan mengirim surat resmi, namun pejabat yang bersangkutan tetap sulit dijangkau. Ketika pejabat akhirnya memberikan klarifikasi, itu biasanya setelah berita sudah terbit. Bahkan, klarifikasi itu lebih sering diberikan ke media lain, bukan ke media yang pertama kali memberitakan. “Air beriak tanda tak dalam,” pepatah ini cocok untuk menggambarkan bagaimana klarifikasi yang terlambat justru memperburuk keadaan.
Tak hanya itu, pengalaman wartawan pemula juga sering dianggap remeh. Wartawan muda yang datang dengan niat baik malah disambut dengan pertanyaan, “Apakah sudah janjian?” Rasanya seperti mengetuk pintu yang sudah tertutup rapat sebelum sempat mengetuknya. “Tangan tak sampai, hati tak akan tenang,” begitulah perasaan wartawan yang merasa aksesnya terbatas.
Tantangan ini terasa lebih berat bagi wartawan pemula yang baru membangun jaringan. Media kecil sering dipandang sebelah mata oleh pejabat, dan mereka lebih memilih merespons media besar. Padahal, media kecil juga bekerja dengan prinsip yang sama: menyampaikan informasi yang bermanfaat bagi publik. “Kapan perahu itu akan berlayar jika dayung tak pernah dipukul?” Jika pejabat terus menghindar, bagaimana wartawan bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal?
Walaupun wartawan dari media kecil sudah membawa kartu identitas, surat tugas, dan sertifikat kompetensi, mereka sering dianggap tidak serius. Ada anggapan bahwa mereka hanya datang untuk meminta uang rokok dan bensin, padahal tidak semua wartawan seperti itu. Banyak yang bekerja keras untuk menjaga integritas profesi. “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga,” kata pepatah yang menggambarkan bagaimana segelintir oknum bisa merusak reputasi banyak wartawan.
Secara hukum, semuanya sudah jelas. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers memberikan hak kepada wartawan untuk mencari dan menyampaikan informasi. Menghalangi akses informasi adalah pelanggaran hukum. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juga mewajibkan pejabat untuk terbuka, kecuali untuk informasi yang dikecualikan.
Mantan Presiden Joko Widodo pernah menegaskan bahwa pemerintah harus transparan dan tidak boleh alergi terhadap wartawan. Ketika pejabat menutup diri, ketidakpercayaan publik akan semakin meningkat. Dr. Wawan Santosa, pakar komunikasi dari Universitas Paramadina, mengatakan bahwa pejabat yang tertutup hanya akan merusak kredibilitasnya.
Ironisnya, meskipun Lampung pernah meraih predikat “Informatif” dalam Anugerah Keterbukaan Informasi Publik 2023, kenyataannya banyak ruang informasi yang masih tertutup rapat. Seperti halnya orang yang “melek sebelah”, pejabat memilih untuk membuka informasi hanya setengah hati.
Opini ini bukan bermaksud menyudutkan, namun lebih sebagai pengingat bahwa wartawan tidak datang untuk mencari-cari kesalahan atau meminta sesuatu. Tugas mereka adalah menyampaikan fakta untuk masyarakat. Jika pejabat terus menghindar, berita yang terbit mungkin tidak berimbang, bukan karena niat buruk wartawan, tetapi karena kurangnya keterbukaan dari narasumber.
Mari duduk bersama, buka data, dan saling memahami. Buka lebar kedua matamu, jangan “Melek Sebelah”. Wartawan dan pejabat punya tujuan yang sama: membangun kepercayaan publik. Jika memang tidak ada yang perlu disembunyikan, kenapa takut bicara? Wartawan hanya konfirmasi bukan ingin membuat drama bak film kartun “Tom & Jerry”. Kalau pun ada, itu nanti..beda orangnya. Salam Informasi… (Red)