LAMPUNG SELATAN-— Dugaan praktik pungutan liar (pungli) di Rumah Tahanan (Rutan) Wayhui, Lampung Selatan, kembali mencuat dan menjadi sorotan tajam publik. Berdasarkan laporan terbaru dari sumber terpercaya keluarga narapidana, oknum petugas di rutan tersebut diduga meminta uang sebesar Rp2,5 juta sebagai syarat pembebasan bersyarat, serta untuk sewa handphone dan pengisian daya.
Kasus serupa tampaknya bukan kali pertama terjadi di Rutan Wayhui. Bahkan, publikasi terkait dugaan pungli di lembaga ini sudah sering muncul, namun tampaknya tak ada langkah signifikan yang mampu memberikan efek jera terhadap para pelakunya.
Ketika dikonfirmasi, pihak Rutan Wayhui mengklaim telah menerima banyak laporan terkait dugaan pungli ini dan mengakui bahwa pembersihan internal masih menjadi tantangan. Meskipun demikian, pihak Rutan tetap menyebutkan bahwa kasus ini merupakan ulah oknum, tanpa mengakui adanya kesalahan sistemik.
Yang lebih mengejutkan, dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh petugas Rutan Wayhui ini jelas melanggar sejumlah peraturan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), termasuk Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2021, Nomor 18 Tahun 2018, serta Keputusan Dirjen Pemasyarakatan Nomor PAS-14.PK.01.02 Tahun 2019. Semua aturan ini dengan tegas melarang adanya pungli dan menyatakan bahwa proses hukum harus berjalan transparan dan tanpa ada unsur pemerasan.
Namun, ironisnya, meski aturan-aturan ini ada, fakta di lapangan menunjukkan bahwa praktik pungli tetap marak terjadi. Bahkan, laporan tentang adanya pungli yang dilakukan oleh oknum petugas Rutan Wayhui seolah menjadi hal yang biasa, tanpa ada tindakan tegas yang mampu menghentikan perilaku tersebut.
Dalam konfirmasi yang dilakukan oleh pihak media, Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadivpas) Kemenkumham Lampung menyatakan bahwa tidak ada istilah pembiaran terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh jajaran Lapas dan Rutan. Ia juga menegaskan bahwa sanksi akan dijatuhkan kepada petugas yang terbukti melakukan pelanggaran sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, hingga kini, publik masih menunggu tindakan nyata dari pihak berwenang yang dapat memberikan efek jera kepada para pelaku pungli.
Pertanyaannya kini, apakah ada kerjasama atau bahkan setoran yang melibatkan pihak Rutan atau Lapas kepada Kanwil Kemenkumham Lampung sehingga praktik pungli ini terus berlanjut tanpa ada tindakan tegas? Ataukah ada faktor lain yang membuat persoalan ini seolah tak terselesaikan?
Yang jelas, masyarakat mendesak agar penegakan hukum dilakukan dengan tegas dan tanpa pandang bulu. Jika tidak, maka praktik pungli ini akan terus menjadi momok yang mencoreng wajah institusi pemasyarakatan dan mencederai kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
(TIM)